Pendahuluan
Saya ingin berbagi sedikit cerita tentang perjalanan saya selama menempuh pendidikan. Kisah ini saya tulis sebagai bentuk penghargaan dan dedikasi untuk para guru yang telah membimbing, mendidik, dan memberikan banyak pelajaran berharga dalam kehidupan saya.
Tulisan ini sebenarnya merupakan bagian dari tugas di tempat saya bekerja, namun lebih dari sekadar memenuhi kewajiban, saya melihatnya sebagai kesempatan untuk mengenang kembali perjalanan yang penuh makna.
Mungkin cerita saya bukanlah sesuatu yang luar biasa atau penuh kejutan. Tapi inilah kisah saya, sebuah kisah sederhana tentang bagaimana kehadiran dan peran guru turut membentuk dan menemani langkah-langkah saya dalam menjalani hidup.
Semoga melalui tulisan ini, saya bisa menyampaikan rasa terima kasih yang tulus, serta menginspirasi siapa pun yang membaca untuk lebih menghargai setiap sosok pendidik dalam kehidupan mereka.
True Story “Terima Kasih Guruku”
Saya lahir dan tumbuh di sebuah desa kecil di Kulon Progo, di mana perbukitan Menoreh yang hijau dan asri membentang sebagai latar alami kehidupan sehari-hari. Di lingkungan yang tenang itu, langkah awal perjalanan pendidikan saya dimulaidari bangku sekolah dasar hingga akhirnya membentuk siapa saya sekarang. Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Ada masa-masa sulit yang hampir membuat saya menyerah, saat itulah sosok guru-guru saya hadir sebagai penopang kuat, membimbing dan menyemangati agar saya terus bangkit dan melangkah maju.
Di bangku sekolah dasar, guru-guru saya adalah figur penuh kesabaran dan kasih sayang. Mereka tidak sekadar mengajarkan saya membaca dan menulis, melainkan menanamkan rasa ingin tahu yang mendalam serta semangat belajar yang membara. Saya masih teringat jelas bagaimana Bu Ponilah, guru kelas saya saat itu, dengan kelembutan dan ketulusan membimbing saya ketika emosi masih mudah menguasai. Di saat putus asa melanda di masa itu, beliau selalu mengulurkan tangan dan berkata, “Nak, kamu bisa, jangan takut salah. Teruslah lakukan apa yang harus dilakukan selama itu baik.” Kata-kata itu menjadi penopang hati saya yang masih kecil, membangkitkan rasa tenang dan percaya diri yang kemudian menjadi fondasi kuat dalam setiap mengambil keputusan.
Memasuki jenjang sekolah menengah pertama, tantangan belajar semakin nyata. Orang tua memutuskan saya dan adik kembar saya menempuh pendidikan di madrasah sekaligus hidup dan belajar di pondok pesantren. Pelajaran yang dulu terasa ringan, kini berubah menjadi lebih berat, tuntutan waktu dan pemahaman jadi tampak nyata, dimaan saya harus benar-benar mengelola segala hal dengan baik. Saya harus cermat membagi waktu antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Di tengah kesibukan itu, Pak Sabar, guru agama saya, selalu menjadi sosok yang sangat berkesan. Beliau tidak hanya mengajarkan materi, tetapi juga memahamkan pentingnya keseimbangan hidup dan menanamkan semangat belajar yang teguh. Saya ingat betul, dimana masa itu bukan tanpa pengorbanan; tidak jarang saya harus tidur 4-5 jam sehari agar bisa belajar hingga larut malam karena padatnya pelajaran. Meski berat, kerja keras itu membuahkan hasil yang memuaskan, saya berhasil lulus dari sekolah dan pondok pesantren dengan prestasi yang membanggakan.
Ketika melangkah ke jenjang SMA, saya memilih Madrasah Aliyah sesuai dengan keinginan orang tua, dengan harapan bekal ilmu saya akan semakin matang. Beradaptasi dengan lingkungan dan suasana baru memang bukan perkara mudah, namun saya berhasil melewatinya dengan baik. Saya selalu teringat janji pada diri sendiri bahwa masa SMA akan saya manfaatkan untuk menjadi pribadi yang lebih produktif. Salah satu nasihat guru saya yang masih membekas dalam ingatan adalah, “Jangan hanya belajar, tapi mulailah berorganisasi.” Pesan itu kemudian mewarnai perjalanan SMA saya, yang tidak hanya dipenuhi oleh tumpukan buku, melainkan juga beragam aktivitas dan organisasi yang memperkaya pengalaman serta membentuk pribadi dan karakter saya secara menyeluruh.
Pada semester empat (tahun kedua), saya menghadapi ujian, yaitu kesehatan yang menurun dan memaksa saya beristirahat lama di rumah, jauh dari kelas dan teman-teman. Kekhawatiran tertinggal pelajaran dan ketidakpastian masa depan membuat saya hampir putus asa, itulah yang selalu menghantui pikiran saya. Dalam kesendirian itu, guru-guru saya tidak membiarkan saya tenggelam. Mereka rutin menghubungi, menanyakan kabar, dan mengirimkan materi pelajaran. Pak Giyarto, guru fisika sekaligus wali kelas saya, bahkan beberapa kali pulang lebih sore untuk menemani dan berdiskusi tentang perkembangan belajar saya dan sesekali menanyakan kesehatan saya. Jarak rumah ke sekolah yang cukup jauh tidak menjadi penghalang baginya untuk meluangkan waktu demi memastikan agar saya tetap semangat.
Perhatian dan kepedulian tulus dari para guru itu sungguh berarti bagi saya. Dari pengalaman tersebut, saya semakin menyadari bahwa menjadi guru bukan sekadar menjalankan tugas formal semata, melainkan sebuah panggilan hati yang penuh kasih dan dedikasi. Berkat dukungan mereka, saya perlahan-lahan mampu bangkit kembali, menyesuaikan diri dengan kondisi tubuh yang belum sepenuhnya pulih. Setiap kali rasa lelah menyerang, saya selalu teringat kata-kata Pak Giyarto, “Dihan, kamu punya potensi besar. Selama ini kamu bisa menjadi yang terbaik. Jangan terlalu membebani diri sendiri. Jalani dengan pikiran positif, tetap semangat, dan selalu jaga kesehatan.” Kurang lebih nasihat itu yang menjadi sumber kekuatan yang menuntun saya kembali ke kelas, berjuang mengejar ketertinggalan pelajaran, hingga akhirnya berhasil menyelesaikan SMA sebagai lulusan terbaik. Meski perjalanan itu tidak mudah, saya tidak pernah merasa sendiri karena guru-guru saya selalu hadir memberikan semangat dan dorongan. Bahkan, guru-guru yang dikenal sebagai “killer” justru menunjukkan perhatian terbesar, membuktikan bahwa di balik ketegasan mereka tersimpan kepedulian yang tulus dalam membimbing dan memotivasi kami.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan sebuah proses mendidik dengan keteguhan hati dan kasih sayang. Kini, saya menyadari bahwa perjalanan panjang ini tak akan pernah saya lalui tanpa sentuhan tangan penuh kasih para guru. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang dengan tulus menuntun saya melewati masa-masa sulit sekaligus menyalakan api semangat yang ada dalam diri saya.
Terima kasih, guruku, atas segala bimbingan, kesabaran, dan cinta yang kalian berikan. Karena kalian, saya dapat terus melangkah maju dengan harapan dan impian yang terus saya jaga untuk diwujudkan. Kisah ini pula yang menggerakkan saya untuk menjadi pendidik, sebagaimana yang saya jalani hari ini. Menjadi pendidik bagi saya ibarat menjadi penjelajah di lautan pengetahuan yang tak bertepi, menulis lembar demi lembar dengan tinta keilmuan untuk anak didik kita. Nasihat guru saya pula, yang mengingatkan pentingnya menjadi pembelajar sepanjang hayat agat terus melekat dalam diri saya. Mereka mengajarkan bahwa belajar bukan hanya kewajiban di bangku sekolah, melainkan panggilan hidup yang harus dijalani. Janji itu saya pegang teguh hingga kini, menapaki jenjang demi jenjang studi di bidang pendidikan hingga sampai pendidikan tertinggi. Semua itu saya lakukan sebagai bentuk penghormatan dan wujud nyata dari semangat yang mereka tanamkan. Dengan tekad dan kerendahan hati, saya berusaha menjadi pendidik yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi generasi berikutnya untuk terus belajar dan berkembang sepanjang hayat. Terima kasih, guruku, engkaulah panutan hidupku yang abadi.